MEMAKNAI “TUMPEK UYE”, SMP NEGERI 6 SINGARAJA TANAM BIBIT POHON, TEBAR BENIH IKAN DAN LEPAS BURUNG

         



Perayaan Rahina Tumpek Uye sebagai salah satu upacara keagamaan di Bali pada tahun ini memiliki momentum yang penting, dimana Gubernur Bali melalui instruksi nomor 01 Tahun 2022 menyerukan Perayaan Rahina Tumpek Uye dilakukan dengan upacara Danu Kerthi sebagai pelaksanaan Tata-Titi kehidupan masyarakat bali berdasarkan nilai-nilai kearifan lokal Sad Kerthi dalam Bali Era Baru, bahkan Rahina Tumpek Uye menanamkan cinta alam dan kasih sayang.

Serangkaian kegiatan Perayaan Rahina Tumpek Uye, Sabtu 29 Januari 2022 dilakukan SMP Negeri 6 Singaraja yang diawali dengan pembersihan di areal sekolah baik di kelas maupun di halaman sekolah, penanaman bibit pohon di sepanjang jalan menuju sekolah, persembahyangan bersama dan dirangkaikan dengan pelepasan burung di halaman padmasana serta pelepasan puluhan ekor ikan di aliran seluruh kolam yang ada di SMP Negeri 6 Singaraja.

Pada Tumpek Uye, umat Hindu memuja keagungan Ida Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Siwa Pasupati yang disebut Rare Angon, penggembala semua makhluk di alam semesta ini. Selain itu juga bagian dari salah satu tradisi di Bali yang memiliki pesan moral untuk selalu bersahabat dengan alam beserta isinya.



Nyoman Sudiana, S.Pd., M.Pd selaku Kepala Sekolah SMP Negeri 6 Singaraja menyebutkan, Rahina Tumpek Uye sebagai salah satu upacara keagamaan di Bali yang merupakan wujud bakti terhadap manifestasi Sang Pencipta yang menjaga alam dan isinya.

“Upacara ini memiliki tujuan untuk mewujudkan rasa cinta kasih, rasa kasih sayang terhadap binatang yang sesungguhnya itu merupakan bagian dari pada keagungan Tuhan, Ida Sang Hyang Widihi Wasa Sang Hyang Siwa Pasupati yang disebut Rare Angon penggembala semua makhluk di alam semesta ini,” ucapnya.

Seperti kita ketahui, umat Hindu di Bali merayakan atau memperingati hari Tumpek Uye atau Tumpek Kandang, yang datang setiap enam bulan atau 210 hari sekali, pada hari Sabtu Kliwon Wuku Uye menurut perhitungan kalender Bali-Jawa.

Komentar